Senin, Mei 04, 2009

REFORMASI BRIMOB POLRI ( ANTARA TRADISI MILITER DAN KULTUR POLISI SIPIL )



PENDAHULUAN
Permasalahan yang mendasar dalam proses transformasi kelembagaan Polri dari polisi dengan karakter militeristik menjadi polisi sipil adalah adanya faktor berpengaruh yang menghambat proses tersebut. Faktor tersebut banyak orang menuding dengan keberadaan Brigade Mobil (Brimob) Polri. kesatuan elit di Polri tersebut dianggap sebagai batu sandungan bagi proses penataan kelembagaan di Polri, karena paramiliter yang melekat di kesatuan tersebut. Bahkan sebagian kecil masyarakat menganggap bahwa Brimob layak untuk dibubarkan, agar proses transformasi tersebut dapat dijalankan.

Setelah hampir delapan tahun berpisah dari TNI, sebagai ‘organisasi induk’, Polri masih menyisakan permasalahan pada permasalahan penataan kelembagaan dan kultur organisasi. Brimob secara kelembagaan memang sudah menyesuaikan diri dengan apa yang menjadi agenda Polri. Hanya saja, proses yang dirasakan terlalu lamban, untuk Brimob sendiri, sehingga dianggap tidak ikhlas melakukan perubahan. Di sinilah pangkal kunci, mengapa Brimob masih menjadi kerikil dari sepatu besar Polri.
Proses perubahan, atau dalam bahasa internal Brimob sebagai penyesuaian dengan agenda Polri menambah beban psikologis di tubuh Brimob sendiri. Karena sejatinya, keberadaan Brimob sejak kali pertama terbentuk, telah difokuskan pada kekhususan penegakan hukum gangguan keamanan tingkat tinggi, yang tidak bisa dilakukan oleh anggota Polri biasa. Sehingga, pengadobsian warna militeristiknya juga menjadi satu kesadaran tersendiri, ketika terintegrasi secara formal dalam tubuh Polri. Sehingga ketika ‘dipaksa’ menanggalkan berbagai atribut kemiliteran yang telah melekat sejak tahun 1946, maka ada semangat penolakan yang sistematik, karena menyangkut esprit de corps.

Tulisan ini akan membahas tentang proses reformasi yang terjadi di tubuh Brimob Polri, respon-respon yang dilakukan, termasuk pola pembinaan, operasional, dan struktur yang ada. Di samping itu akan dibahas juga bagaimana proses pergeseran dari tradisi yang sepenuhnya militeristik menjadi tradisi yang bercampur antara tradisi militeristik, dan tradisi sipil yang hendak dikembangkan.

LAHIR DARI TRADISI MILITERISTIK
Brigade Mobil (Brimob) Polri sejak pembentukannya, 14 November 1946 merupakan respon dari Polri untuk bersama-sama dengan elemen bangsa lainnya mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda dan sekutunya untuk kembali menjajah Indonesia. Hal ini tercermin dari upaya segenap anggota Brimob dan Polri ketika itu untuk mengintegrasikan diri dan bahu membahu dalam mempertahankan kemerdekaan bersama rakyat dan unsur TNI, disamping peran dan fungsinya dalam penegakan hukum. Apalagi secara eksplisit, Polri juga ikut dalam setiap langkah dan kebijakan dari pemerintah yang menyangkut penjagaan pada eksistensi bangsa dan negara dari rongrongan pihak asing dan upaya pemberontakan dengan dalih menganti ideologi dan dasar negara dengan yang lain, seperti yang tercermin pada Pemberontakan PKI Madiun 1948, yang ditumpas oleh Divisi Siliwangi, TNI, rakyat, serta Polri.

Setelah kemerdekaan penuh direngkuh oleh rakyat dan bangsa Indonesia, Brimob tidak berhenti mengabdikan diri pada Ibu Pertiwi. Berbagai pemberontakan dan gerakan separatisme, yang mengancam keamanan dalam negeri (Kamdagri), dan eksistensi republik ini. Brimob menjadi satuan Polri yang terdepan untuk memadamkan berbagai pemberontakan dan gerakan separatisme bersama TNI. Pada masa Orde Lama ini, ternyata peran dan fungsi Polri tidak terbatas pada upaya penegakan hukum, preventif dan represif saja, tapi juga pada peran dan fungsi yang berkaitan dengan wilayah politik, serta bersama-sama dengan TNI terlibat dalam operasi penumpasan gerakan pemberontakan seperti Pemberontakan Andi Aziz, PRRI/Permesta, APRA, DI/TII, dan lain sebagainya.
Kembali ke awal pembentukannya, Brimob Polri merupakan bagian dari metamorfosis polisi paramiliter bentukan Jepang dan Belanda ketika kedua negara tersebut menjajah bangsa ini. Pada tahun 1912, ketika masa penjajahan Belanda satuan polisi bersenjata dibentuk dengan nama Gewapende Politie dan digantikan oleh satuan lain bernama Veld Politie, tugasnya antara lain: bertindak sebagai unit reaksi cepat, menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, mempertahankan hukum sipil, menghindarkan munculnya suasana yang memerlukan bantuan militer, serta konsolidasi atas wilayah yang dikuasai.

Bisa dikatakan Gewarpende Politie dan kemudian Veld Politie merupakan bagian dari unit pemadaman pemberontakan yang efektif, sebelum militer akhirnya turun tangan, sebab kedua kesatuan tersebut sesunguhnya merupakan bentuk lunak dari pasukan bersenjata selain militer.

Sementara itu, ketika masa pendudukan Jepang, juga tidak kalah sigapnya untuk membentuk pasukan paramiliter pada April 1944, yang dikenal dengan Tokubetsu Keisatsu Tai, yang anggota terdiri dari para polisi muda dan pemuda polisi didikan Jepang. Tokubetsu Keisatsu Tai ini lebih terlatih dari pasukan polisi istimewa pada masa penjajahan Belanda. Selain diasramakan, polisi istimewa Jepang ini mendapatkan pendidikan dan latihan kemiliteran dari tentara Jepang. Tokubetsu Keisatsu Tai memiliki tugas dan tanggung jawab dalam bidang Kamtibmas, dan sekaligus di front pertempuran.

Masa Tokubetsu Keisatsu Tai ini ternyata telah diupayakan menyebar ke wilayah-wilayah, di mana setiap kesatuan Tokubetsu Keisatsu Tai dibawah perintah kepala polisi keresidenan. Setiap wilayah memiliki variasi jumlah personil , yang berkisar antara 60 hingga 200 personil, tergantung kondisi dan situasi wilayah. Komandan kompi dari Tokubetsu Keisatsu Tai tersebut umumnya berpangkat Itto Keibu (Letnan Satu/Inspektur Satu). Salah satu komandan Tokubetsu Keisatsu Tai adalah Inspektur M. Jasin yang menjadi ’Bapak Pendiri’ Brimob Polri dengan memaklumatkan pendirian polisi istimewa, atau pasukan polisi istimewa, atau Barisan Polisi Istimewa, yang merupakan cikal bakal dari Brigade Mobil (Brimob). Penamaan yang tidak satu tersebut kemudian mengundang permasalahan, karena satu sama lain merasa bahwa penamaan tersebut mencitrakan sebuah persaingan tidak terbuka antara pengusung nama-nama tersebut. Atas inisiatif Komisaris Tk. I Soemarto, yang menjabat sebagai Wakil Kepala Kepolisian Negara untuk mengubah nama polisi istimewa tersebut dengan Mobile Brigade (Mobrig)

Perubahan nama tersebut memang sejalan dengan langkah untuk mempertegas eksistensi polisi istimewa dalam struktur Polri, dengan terbitnya Surat Perintah Kepala Muda Kepolisian No. Pol: 12/78/91, yang memerintahkan Inspektur M. Jasin untuk mempersiapkan berbagai hal untuk pembentukan Mobile Brigade (Mobrig), yang dilanjutkan dengan Mobile Brigade Karesidenan (MBK) berkekuatan satu kompi, struktur ini mengadopsi struktur Tokubetsu Keisatsu Tai.

Pada masa Orde Lama, Mobrig menjadi kesatuan khusus yang dimiliki Polri dengan pengkhususan pada gangguan keamanan dan ketertiban tingkat tinggi, seperti konflik dan gerakan separatisme. Hal ini mendorong upaya penyempurnaan organisasi. Meski hanya bersifat sementara dan koordinatif, di tingkat karesidenan MBK diubah menjadi Rayon Mobrig dan MBB di tingkat provinsi diubah menjadi kompi reserve (cadangan). Di tingkat pusat dibentuk koordinator dan inspektur Mobile Brigade yang berkewajiban mengurusi pasukan Mobrig yang berkedudukan di Purwokerto dengan tugas membantu Kepala Djawatan Kepolisian Negara berkaitan dengan Mobrig. Sementara di tingkat provinsi dibentuk Koordinator dan Inspektur Mobile Brigade yang berkewajiban mengurusi pasukan Mobrig di daerah yang berkeduduakn di provinsi, di mana konsekuensinya di tiap kabupaten dibentuk kompi-kompi Mobrig.

Mobrig kemudian ditingkatkan statusnya , yang semula setingkat kompi, maka berdasarkan Surat Keputusan Departemen Kepolisian Negara No. Pol: 13/MB/1959 tertanggal 25 April 1959 ditingkatkan statusnya menjadi setingkat batalyon, sementara koordinator daerah Mobrig diubah menjadi Komandemen Daerah serta Koordinator Mobile Brigade Djawatan Kepolisian Negara diubah menjadi komandemen Mobile Brigade Pusat, yang juga diubah lagi menjadi Komandemen Mobrig Pusat.

Menjelang Ulang Tahun Mobrig ke 16, Menteri Kepala Kepolisian Negara mengeluarkan surat order (Perintah) dengan nomor: Y.M. No. Pol: 23/61 tertanggal 16 Agustus 1961, di mana berisi penetapan hari ulang tahun, dengan Inspektur Upacara Presiden Soekarno, yang mengubah sebutan Mobrig menjadi Brigade Mobil, atau Brimob. Akan tetapi pada perjalanannya, perubahan penamaan tersebut tidak memberikan satu persfektif bahwa penamaan tersebut kurang memberikan penekan akan pentingnya integralitas Brimob sebagai bagian dari kesatuan yang ada di Polri. justru perwatakan Brimob mengarah pada pengentalan karakteristik militer yang sesungguhnya bertolak belakang dengan esensi Polri sebagai organisasi pengelola keamanan yang berwatak sipil.

Justru yang makin menarik adalah dari berbagai proses perubahan ketatanegaraan dan legal formalnya, hingga terbitnya UU Pokok Kepolisian No. 13/1961 yang mempertegas posisi Polri sebagai salah satu unsur ABRI. Perubahan tersebut mendorong internalisasi nilai militeristik dalam tubuh dan struktur Polri. Apalagi sejak dikeluarkannya Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965 tentang disamakannya pendidikan pada level akademi bagi ABRI dan Polri. Setelah itu dikembalikan ke masing-masing akademinya. Hal ini jelas mengubah perwajahan Polri dari sipil ke militer, dengan berbagai atribut yang dikenakannya. Permasalahan yang kemudian muncul adalah, bahwa Polri merupakan institusi sipil yang harus mencitrakan dirinya sebagai bagian dari sipil dalam operasionalnya. Tak terkecuali Brimob.

Brimob yang sejak awal memang kesatuan paramiliter yang merupakan kesatuan khusus Polri makin mengentalkan warna militeristiknya ketika Polri disatukan dengan TNI dengan nama ABRI, warna militeristik makin kental, bukan hanya terbatas pada satuan Brimob saja, melainkan menjadi bagian dari kultur di Polri. Bahkan hal tersebut makin menguatkan kultur militeristik yang meresap di satuan Brimob. Perubahan ini sangat mempengaruhi kinerja Polri, dan Brimob pada khususnya dalam mengoperasionalkan peran dan fungsinya sebagai alat keamanan negara. Upaya mendorong agar proses demokrasi sebagai bagian dari komitmen Polri dalam mewujudkan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri) yang kondusif hampir tidak terjadi.

Penekanan bahwa tugas Brimob dalam bidang Kamtibmas gangguan tingkat tinggi dan di front pertempuran, terkoreksi dengan keluarnya Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: SK/05/III/1972, tertanggal 2 Maret 1972 tentang Refungsionalisasi dan Reorganisasi Organisasi Brimob, yang mengurangi peran front tempur dan militernya. Di samping itu Surat Keputusan tersebut menempatkan Brimob kembali pada esensi awal pendiriannya yakni di bawah komando langsung Kapolda, sama ketika organisasi Brimob kali pertama dengan nama MBK tersebut.

Mengacu kepada SK tersebut pula, tugas dan fungsi Brimob dipangkas tidak lagi pada tugas tempur militer, tapi fungsi satuan bantuan operasional taktis kepolisian, guna menghadapi kriminalitas tingkat tinggi. Sehingga bentuk organisasinya juga tidak lagi bersifat korps yang bersifat vertikal, namun kesatuan yang dibatasi hanya sampai pada tingkat batalyon kedudukan kompi-kompi yang berdiri sendiri (BS), menjadi organik pada komando-komando kewilayahan Polri (Polda).

Perubahan struktur organisasi tersebut hanya bertahan selama sebelas tahun, karena pada 14 November 1983, struktur Brimob kembali dirubah, dengan benar-benar melikuidasi keberadaan batalyon dan Kompi BS. Hal ini berarti ada penyempitan dengan keberadaan batalyon dan kompi dari mulai pertama pembentukannya hingga Surat Keputusan Polri No. Pol.: Skep/522/XI/1983, digantikan dengan pembentukan Satuan Brimob, yang membawahi kompi-kompi non-BS.

Harus diakui bahwa rentang waktu antara tahun 1972 hingga 1983 posisi Brimob secara langsung menjadi ‘kaki tangan’ dari ABRI, yang secara organisasi melakukan sub ordinat kepada Polri, dan Brimob. Hal ini mempengaruhi psikologis anggota Brimob khususnya dikemudian hari. Tekanakan psikologis tersebut terkait perasaan lebih rendah, dan tidak lebih baik dibandingkan dengan personil ABRI lainnya. Bahkan dimasyarakat berkembang anekdot Brimob dikenal dengan “polisi bukan, tentara belum” , karena ketidakjelasan ‘kelamin’ Brimob Polri. Selama kurun waktu tersebut praktik-praktik militeristik sudah merupakan keseharian dalam perjalanan Brimob Polri. Hal ini ditopang karena rejim yang berkuasa cenderung melegitimasi.

Yang menarik pada tahun 1996, validasi dan peningkatan status Brimob, yakni menjadi badan pelaksana pusat, yang berkedudukan dibawah Kapolri. Konsekuensinya tentu saja jabatan perwira menengah, dari setingkat kolonel (komisaris besar/Kombes) menjadi perwira bintang satu (brigadir jenderal), yang kali pertama di jabat oleh Brigjen Pol. Drs. Sutiyono. Peningkatan status ini juga berpengaruhi pada tugas dan pokok Brimob Polri, yakni: Membina kemampuan dan mengerahkan kekuatan Brimob guna menanggulangi gangguan Kamtibmas berkadar tinggi, utamanya kerusuhan massa, kejahatan terorganisir bersenjata api, atau bahan peledak, serta bersama-sama dengan unsur pelaksana operasional kepolisian lainnya mewujudkan tertib hukum dan ketentraman masyarakat di seluruh wilayah yuridiksi nasional Republik Indonesia.

Harus diakui bahwa proses validasi tersebut merupakan bagian penorehan sejarah bagi eksistensi Brimob, karena pengakuan bahwa Brimob bukan lagi institusi pelengkap saja, tapi merupakan institusi penting dalam jajaran Polri. Karena kurang lebih tiga puluh tahun, status Brimob selama Orde Baru, lebih banyak menjadi alat kekuasaan bukan alat negara. Brimob menjelma menjadi aparat kekuasaan yang menjaga kelanggengankekuasaan Orde Baru. Bahkan dengan motto: “Sekali Melangkah Pantang Menyerah, Sekali Tampil Harus Berhasil”, nampak mencitrakan kekecaman dan menghalalkan segala cara, dalam rangka tugas pokoknya. Motto tersebut memberikan satu persfektif bahwa Brimob masih sangat dipengaruhi oleh jargon dan slogal berbau militeristik, sehingga dicap sebagai pelanggeng budaya militer di internal Polri. Apalagi secara garis besar, prilaku anggota Brimob mencitrakan perbedaan antara kesatuan tersebut dengan kesatuan lain di internal Polri.

Dan menjelang kejatuhan Orde Baru, Brimob juga menjadi sasaran kecaman masyarakat karena praktik kekerasan yang dilakukan Brimob Polri. Upaya menggeser gerbong Brimob agar lebih condong ke sisi sipil terus dilakukan, dengan melakukan internalisasi nilai-nilai polisi sipil dalam kurikulum dan operasional di lapangan. Dan usaha tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal, perubahan yang dibangun dengan mengikuti arus reformasi tidak serta merta mengubah paradigma Brimob secara esensial, karena perubahan yang terjadi lebih banyak parsial, dan lipservice saja. Karena hingga kejatuhan Soeharto, Brimob masih mewartakan diri sebagai polisi paramiliter yang memiliki kekhasan dan warna militeristik yang kental.

BRIMOB DAN DEMOCRATIC POLICING
Perubahan yang signifikan pada posisi dan peran Polri seiring dengan era reformasi, yang mana ditandai dengan keputusan politik memisahkan Polri dari institusi dan garis komando TNI pada 1 April 1999 dengan adanya Inpres No. 2 Tahun 1999 . Karena mendapatkan dukungan publik yang luas, maka keputusan tersebut ditetapkan dalam Tap MPR/VI/2000 tentang pemisahan ABRI (TNI dan Polri) serta Tap MPR/VII/2000 tentang peran kedua lembaga tersebut dengan menempatkan TNI di bawah Departemen Pertahanan, khusus Polri berada langsung di bawah Presiden. Tindak lanjut dari keluarnya kedua Tap MPR tersebut adalah dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, yang berkaitan juga dengan peran dan posisi TNI dalam peran perbantuannya pada Polri.

Dalam persfektif yang lebih umum, Polisi masih dikelompokkan ke dalam militer, sehingga yang disebut orang sipil adalah mereka yang bukan militer dan juga bukan polisi. Polisi masih dikategorikan militer karena sama dengan militer, masih memikul citra ”having force and power”. Maka menjadi polisi sipil adalah mendekonstruksi pekerjaan polisi menjadi suatu kekuatan publik yang sejauh mungkin mengambil jarak dari ”suatu force yang berbasis power”.

Polisi Sipil selain sebagai paradigma juga merupakan tujuan dari reformasi itu sendiri. Oleh karena itu, pada dasarnya perubahan-perubahan yang dilaksanakan tidak dapat dilaksanakan secara parsial tetapi secara simultan, sehingga akan menghasilkan sinergi yang menjadi percepatan dalam mencapai tujuan yaitu terwujudnya Polisi Sipil. Beberapa parameter yang menjadi indikator Polisi Sipil, yakni : Profesional dan proposional, demokrasi, menjunjung tinggi HAM, Transparansi, akuntabilitas, supremasi hukum, dan sikap protagonis. Oleh karenannya perubahan struktural harus diikuti dengan perubahan instrumental dan kultural.

Mengembalikan peran dan posisi Polri sebagai institusi yang terfokus pada keamanan dalam negeri dipertegas dalam UU No. 2 Tahun 2002, Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 5. Pada Pasal 2 dijelaskan megenai fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sementara pada Pasal 4 ditegaskan tujuan dari Polri, yakni mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Sedangkan pada Pasal 5 ditegaskan kembali peran dari Polri yang merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri dalam kultur polisi sipil.

Turunan dari pasal-pasal tersebut di atas, Brimob menjabarkan tugas pokok dan fungsinya sebagai berikut:

“Tugas Pokok Brimob Polri adalah melaksanakan dan menggerakkan kekuatan Brimob Polri guna menanggulangi gangguan Kamtibmas berkadar tinggi, utamanya kerusuhan massa, kejahatan terorganisir bersenjata api, bom, bahan kimia, biologi dan radioaktif bersama unsur pelaksana operasional kepolisian lainnya mewujudkan tertib hukum serta ketentraman masyarakat di seluruh wilayah yuridiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tugas-tugas lain yang dibebankan kepadanya”

“Fungsi Brimob Polri adalah sebagai satuan pamungkas Polri yang memiliki kemampuan spesifik penanggulangan keamanan dalam negeri (Kamdagri) yang berkadar tinggi dan penyelamatan masyarakat yang didukung oleh personil terlatih dan memiliki kepemimpinan yang solid, peralatan, perlengkapan dengan teknologi modern”

”Peran Brimob Polri adalah melakukan manuver, baik secara individual atau dalam kelompok dengan daya gerak, daya tembak, dan daya sergap untuk membatasi ruang gerak, melumpuhkan, menangkap para pelaku kejahatan beserta saksi dan barang bukti dengan cara: membantu, melengkapi, melindungi, memperkuat, dan menggantikan”

Sedangkan yang perlu diketahui juga tentang kemampuan dari Brimob Polri, yang terbagi menjadi dua kemampuan, yakni:
1. Strata Kemampuan:
a. Strata Kemampuan Brimob: Kemampuan Dasar Kepolisian, PHH, Resmob, Jibom, Wanteror, dan SAR
b. Strata Kemampuan Pelopor: Kemampuan Brimob Dasar plus kemampuan lawan gerilya/lawan insurjensi
c. Strata Kemampuan Gegana: kemampuan pelopor plus operator Jibom, intelijen, dan kemampuan kimia, biologi, dan radio aktif
d. Strata Kemampuan Instruktur: kemampuan gegana plus pengajaran dan latihan, pengkajian dan pengembangan

2. Kemampuan Brimob Polri:
a. Kemampuan Dasar Kepolisian
b. Penanggulangan Huru-Hara (PHH)
c. Reserse Mobil (Resmob)
d. Jihandak/Jibom (penjinakan bahan peledak/penjinakan bom)
e. Perlawanan Teror (Wanteror)
f. Search and Rescue (SAR)

Jadi sesungguhnya sudah sangat jelas bahwa Brimob Polri mencoba mempertegas jati dirinya sebagai bagian integral dari Polri sebagai bagian untuk mendorong terciptanya tata pemerintahan yang baik (good governance). Oleh sebab itu, peningkatan kualitas kinerja kepolisian mutlak harus dilakukan secara terus menerus, berkelanjutan, dan harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh seluruh jajaran anggota Polri. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) sebagai pucuk pimpinan tertinggi organisasi Polri, telah melakukan terobosan untuk menjawab tuntutan reformasi, khususnya dalam reformasi perwujudan kultur poisi sipil dengan mengeluarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/1320/VIII/1998, tanggal 31 Agustus 1998 mengenai Buku Petunjuk Lapangan tentang Peningkatan Pelayanan Polri dalam Era Reformasi. Brimob Polri pun meresponnya dengan mengeluarkan Buku Pedoman Pelaksanaan Opersional dan Pembinaan Brimob Polri sebagai tindak lanjut membangun dan mengembangkan satu kultur organisasi yang seirama dengan satuan-satuan lain di lingkungan Polri.

Sementara yang berkaitan langsung dengan Brimob terbit Surat Keputusan Kapolri, No. Pol: Kep 53/X/2002 tertanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Korps Brimob, maka sejak itu struktur organisasi Brimob mengalami perubahan lagi, di mana kepangkatan Komandan Korps Brimob menjadi bintang dua (Inspektur Jenderal), dan Irjen Pol. Drs. Yusuf Mangga Barani menjabat sebagai Kakorbrimob. Konsekuensinya juga ada perubahan struktur organisasi Brimob di daerah, dengan menghapus Kasi Intel pada satuan Brimob, dan menambahkan Subden Gegana di seluruh satuan Brimob, yang juga mengacu kepada Keputusan kapolri No Pol.: Kep/54/X/2002 tentang OTK Satuan-satuan Organisasi Kepolisian Daerah (Polda). Secara harfiah, perubahan ini mensiratkan langkah dan penataan Brimob untuk lebih terintegral dengan Polri. bahkan sebelum SK Kapolri No. 54 tersebut keluar, didahului keluarnya Surat Keputusan Kapolri No Pol: Skep/27/IX/2002 tentang Reformasi Brimob Polri, yang meliputi:
a. Aspek Struktural
1) Kekuatan Brimob Polri tidak terpusat (sentralisasi), tetapi lebih di arahkan kepada kewilayahan (desentralisasi pada tingkat Polda)
2) Struktur organisasi tidak harus sama dengan struktur organisasi militer
b. Aspek Instrumental
1) Penyempurnaan piranti lunak yang berlaku di Brimob Polri mengarah dan mengacu kepada paradigma baru Polri, UU Polri, dan tuntutan masyarakat.
2) Pengkajian secara terus menerus terhadap sistem dan metode oleh lingkungan Brimob Polri, guna mewujudkan anggota Brimob Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayanan masyarakat serta penegak hukum yang profesional.
c. Aspek Kultural
1) Adanya perubahan yang signifikan dari perilaku anggota Brimob Polri yang militeristik menjadi anggota Brimob Polri yang berstatus sipil.
2) Menghindari dan menghilangkan sifat kebanggan korps yang berlebihan dan arogan pada setiap perilaku anggota Brimob Polri dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat maupun saat melaksanakan tugas.
3) Mengimplementasikan penggunaan program yang komprehensif dan tepat dalam rangka memupuk loyalitas setiap personil Brimob Polri kepada misi organisasi, bukan pada pribadi atau pimpinan.

Namun kenyataannya kultur polisi sipil belum bergeser jauh antara sebelum reformasi Polri dan setelah reformasi Polri. bahkan di satuan Brimob, perubahan tersebut belum nampak terlihat, hal ini dapat dilihat dengan kasat mata, di mana Brimob lebih menampakkan kesan militeristiknya dari pada satuan-satuan lainnya. Untuk itu perlu dicarikan solusinya tentang bagaimana strategi mengoptimalisasikan peran dan fungsi Brimob dalam kultur polisi sipil dalam memelihara keamanan dalam negeri (Kamdagri) untuk mewujudkan harapan dan kepercayaan masyarakat. Ketiga aspek yang ditegaskan dalam SK Kapolri tersebut belum sepenuhnya dapat diimplementasikan dengan efektif dan baik. Bahkan dalam berbagai proses selama tahun 1998 hingga tangun 2005, Brimob Polri yang bertugas di sejumlah daerah konflik seperti Aceh, Poso, Ambon, dan Papua menorehkan tinta negatif bagi upaya untuk menata dan mereformasi satuan khusus di lingkungan Polri tersebut.

Di Aceh sepanjang kurun waktu tersebut terjadi berbagai pungli dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh personil Brimob, selama kurun waktu 1998 hingga 2005, menyebutkan bahwa Brimob tergoda juga akhirnya melakukan berbagai aktivitas menyimpang, dari mulai pungli di pos perbatasan (check point), aktivitas ekonomi bayangan (Shadow economic), hingga pembekingan aktifitas kriminal, seperti penyelundupan, dan lain sebagainya.

Kasus yang lebih menarik adalah penyimpangan tugas yang dilakukan Brimob Polri di Poso. Dalam sebuah paper “ Keterlibatan Polisi dalam Pemeliharaan Ketidakamanan di Sulawesi Tengah “ G. J. Aditjondro menyebutkan ada sekitar dua belas jenis keterlibatan oknum-oknum Polri dan Brimob dalam bisnis kelabu ini di wilayah Poso dan sekitarnya yakni (a) pemerasan secara langsung oleh ‘oknum’ berbaju seragam; (b) perlindungan bagi prostitusi terselubung; (c) sabung ayam; (d) bisnis satpam; (e) perburuan dan penyelundupan flora dan fauna langka; (f) perdagangan hasil hutan; (g) pengangkutan barang dan penumpang dengan kendaraan dinas; (h) bisnis pengawalan; (i) pungutan di pos-pos penjagaan; (j) proteksi properti milik pengusaha dan eks-pejabat tertentu; (k) bisnis proteksi operasi perusahaan-perusahaan bermodal besar; dan (l) perdagangan ilegal senjata api dan amunisi.

Diluar penyimpangan tersebut adalah kekerasan yang dilakukan secara sistematis kepada masyarakat Poso, yang dilakukan oleh oknum Brimob Polri. Bahkan dalam penelitian awal yang dilakukan oleh penulis pada tahun 2005 lalu, ketidaksukaan masyarakat terhadap prilaku oknum Brimob Polri makin menjadi-jadi, dan hal tersebut terbukti saat beberapa kompi personil Brimob Polri sempat bentrok ketika ingin menangkap pelaku teror di awal tahun 2007 lalu.

Terlepas dari proses reformasi yang tengah berjalan, Brimob Polri secara harfiah belum benar-benar melakukan reformasi internalnya secara menyeluruh, baru sebatas permukaan dan parsial saja. Hal ini dapat dilihat, misalnya pada struktur yang masih mengadopsi struktur militer, meski tidak secara penuh. Namun hal tersebut secara harfiah dipahami sebagai keengganan Brimob untuk melepas atribut dan kultur militeristik yang telanjur melekat. Meski demikian upaya terus dilakukan dengan mengganti motto Brimob, yang selama ini dianggap sangat militeristik, dari ”Sekali Melangkah Pantang Menyerah, Sekali Tampil Harus Berhasil” menjadi ”Jiwa Ragaku Demi Kemanusiaan”, filosofi dari motto tersebut sebenarnya lebih beradab dan bernuansa sipil. akan tetapi, pada pelaksanaannya memang belum dapat diimplementasikan secara maksimal.

Kondisi ini menjadi catatan penting dalam evaluasi reformasi sektor keamanan, dalam hal ini Polri, yang menjadi titik lemah Polri dalam merajut kultur polisi sipil dan profesional dalam mewujudkan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri), sehingga perlu kembali ditegaskan tentang pentingnya mempercepat proses reformasi di internal Brimob. Langkah tersebut dilakukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Kapolri No, Pol.: Kep/20/IX/2005 tertanggal 7 September 2005 tentang Rencana Strategis Kepolisian Negara Republik Indonesia 2005-2009, yang di dalamnya ditegaskan upaya Polri untuk memperbaiki dan mereposisi Brimob Polri sebagai satuan khusus polisi profesional dengan daya tangkal tinggi, akan tetapi berbeda fungsi dengan militer. Hal tersebut diperlukan bagi terwujudnya:
a. Kemampuan menetralisir ancaman kekerasan terhadap masyarakat
b. Memantapkan fungsi Brimob Polri dalam melawan insurgensi (separatisme) dengan cara bekerja sama dengan TNI
c. Menerapkan proses rekrutmen dan seleksi Brimob yang lebih ketat dibandingkan polisi reguler
d. Memberikan pengalaman magang dan pelatihan khusus berorientasi sipil yang berbeda sama sekali dengan militer.

Terlepas dari berbagai kebijakan yang telah dibuat dan didukung agar Brimob Polri dapat mempertegas posisi Polri sebagai polisi sipil, namun realitas yang harus di lapangan justru sebaliknya. Tujuh hal yang menjadi titik krusial dan evaluasi bagi posisi Brimob dalam menopang reformasi Polri, yakni: Pertama, Meski kekuatan Brimob Polri tidak terpusat, namun dalam melakukan mobilisasi dan pengerahan masih tetap membutuhkan komando dari Mabes Polri, atau setidaknya Kakorbrimob. Hal ini sebenarnya relatif menyulitkan ketika terjadi di lapangan, di mana Brimob yang di-BKO-kan cenderung kurang sensitif dalam pengembangan tali komandonya dibandingkan dengan chain of command yang telah dibangun di masing-masing satuan brimob Polda. Sekedar contoh dalam pengerahan personil Brimob, Kapolres Poso, kesulitan melakukan pengerahan, karena tali komando tidak berada di tangannya sebagai penguasa kesatuan Operasional Dasar (KOD), melainkan pimpinan kompi, atau kesatuannya langsung.

Kedua, meski berupaya menanggalkan struktur organisasi dan kultur militeristik, akan tetapi sepanjang delapan tahun Reformasi Polri bergulir, langkah tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Justru hanya penamaannya saja diganti, tapi pola tali komando, serta atributnya tetap digunakan. Alhasil, secara kultur Brimob masih enggan menanggalkan baju dan kultur militernya. Contoh kasus yang paling mudah ditemukana adalah masih maraknya pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh oknum Brimob di lapangan.

Ketiga, upaya agar Brimob terintegral dengan agenda reformasi Mabes Polri terus dilakukan, namun efek positifnya masih belum nampak. Sekedar gambaran, keluarnya Surat Keputusan Kakorbrimob Polri No. Pol: Skep/94/X/2005 tentang Buku Pedoman Pelaksanaan Penerapan Perpolisian Masyarakat bagi Personil Brimob Polri, hingga saat ini belum mampu diterapkan oleh Brimob Polri.selain masalah perwatakan yang berlawanan, juga dikarenakan karakteristik pembentukan Brimob yang disiapkan menjadi personil pemukul.

Keempat, penyempurnaan struktur dan berbagai bentuk pembinaan yang dilakukan masih dirasakan belum maksimal. Keluarnya Surak Keputusan Kepala Korps Brimob Polri No. Pol: Skep/115/XI/2006 tentang Buku Pedoman Pelaksanaan Operasional Brimob Polri juga masih menjadi wacana yang harus dipecahkan untuk dioperasionalisasikan. Hal ini masih nampak pada penyergapan buronan pelaku teror Poso, yang terjadi bentrok dengan masyarakat. Padahal dalam buku pedoman tersebut telah digarisbawahi tentang pentingnya mencitrakan Brimob sebagai institusi sipil yang profesional.

Kelima, perubahan internal yang dilakukan pengkajian secara terus menerus terhadap sistem dan metode oleh lingkungan Brimob Polri, belum memberikan kontribusi yang efektif, karena terjadi kegamangan di internal Brimob Polri sendiri, apakah mengikuti arus perubahan dengan mengarahkan perubahan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat, atau tetap bertahan dengan menjaga tradisi yang telah dibangun lebih dari 60 tahun lalu.

Keenam, prilaku anggota Brimob di lapangan masih belum mencitrakan polisi sipil yang diharapkan oleh masyarakat. Watak militeristik masih nampak dalam proses menjalankan fungsinya. Pendekatan kekerasan masih dipraktikkan dalam berbagai permasalahan yang melibatkan Brimob, seperti di daerah konflik, dan kerusuhan massa.

Ketujuh, ekslusivitas personil Brimob di antara satuan Polri yang lainnya. Bahkan dalam upaya penegakan hukum di ilayah konflik ataupun ancaman keamanan dengan intensitas tinggi, seperti pada bentrok massa dan petugas Polri dan Brimob di unjuk rasa pembebasan lahan untuk pembangunan lapangan terbang di Nusa Tenggara Barat beberapa waktu lalu.

Kedelapan, Upaya pengembangan keterampilan dan keahlian personil Brimob masih sebatas pada keahlian profesional, belum keahlian pada penekanan untuk membangun interpersonal, sebagai salah satu prasyarat dari polisi sipil, dan kepolisian demokratik. Keahlian ini, meski telah didapat dalam keterampilan kepolisian dasar, namun ketika terintegral dalam kesatuan Brimob, keterampilan tersebut menyurut, dan berganti menjadi keterampilan dalam penegakan hukum pendekatan preventif dan represif.

Kesembilan, rekruitmen personil Brimob Polri masih bersandar pada pola lama, yakni perekrutan dari jalur Akpol, bukan semata-mata karena minat, tapi penunjukkan atasan. Sementara di jalur non perwira, perekrutan terbatas pada penjaringan yang telah ada. Hasilnya memang tidak terukur, sehingga ketika yang muncul adalah semangat paramiliter, maka tidak bisa dipungkiri, hal tersebut merupakan bagian dari pola lama yang termanifes.

Dari sembilan permasalahan tersebut, maka langkah dan upaya untuk menegaskan proses reformasi Brimob menjadi bagian yang tidak bisa ditunda lagi. Hal ini disebabkan karena posisi Brimob Polri yang sangat strategis dalam keluarga besar Polri. Sebab cepat atau lambat, Brimob Polri akan mengikuti arus, atau melawan arus dari perubahan tersebut. Dengan melawan arus, maka sejatinya Brimob tengah menggali kuburan bagi Polri, serta Polri sebagai organisasi induk Brimob akan terus mendapatkan kritik dan hujatan dari masyarakat, yang belum puas dengan performa Polri, selepas berpisah dari TNI delapan tahun lalu.

Ada tujuh agenda yang harus menjadi prioritas bagi Brimob untuk menuntaskan agenda reformasi internal; mewujudkan Brimob Polri, sebagai polisi sipil yang profesional, yakni: Pertama, Melakukan penataan rekrutmen dan seleksi terhadap calon personil Brimob dengan baik. Ada dua model seleksi yang harus diterapkan secara serius; seleksi melalui jalur Akpol, dan seleksi bagi bintara dan tantama. Bila selama ini seleksi melalui jalur Akpol, setelah lulus dari Akpol maka para perwira pertama tersebut kemudian diplot ke Polda-polda yang ada. Dan dengan otoritas Kapolda dan atasannya si perwira muda ini kemudian mengambil kejuruan, ke pendidikan dan latihan Brimob Polri. Maka akan lebih baik, apabila keputusan untuk diplot ke Brimob Polri, didasari juga karena hasil analisis psikologi, minat dan bakat, serta kemampuan dasar, yang semuanya harus terukur. Sedangkan jalur bintara dan tantama, meski sudah benar, tapi upaya membaurkan dengan calon personil Polri lainnya harus terus diwacanakan dan kemudian direalisasikan.

Kedua, perbaikan struktur organisasi Brimob yang tetap bersandar pada profesionalisme, dan kekhasan. Meski status Brimob sudah langsung di bawah Polri, bukan berarti Brimob telah tuntas dalam melaksanakan penataan internal. Justru Brimob menjadi satu bagian yang disorot, sebagai akibat dari belum banyak berubahnya kultur di Brimob. Perbaikan organisasi ini harus juga diupayakan untuk tetap berpatokan pada kepolisian demokratik.

Ketiga, Melakukan berbagai pelatihan bagi personil Brimob, yang terkait dengan perpolisian masyarakat, kehumasan, teknik negoisasi, komunikasi sosial, psikologi sosial, di luar kemampuan utamanya. Langkah ini guna mengimbangi kultur militeristik yang telanjur mengakar. Dengan pelatihan-pelatihan tersebut, diharapkan akan terbangun satu paradigma baru tentang kultur polisi sipil.

Keempat, melakukan sosialisasi secara efektif berbagai perangkat lunak, baik perundang-undangan maupun Surat Keputusan (SK) agar terjadi transformasi pemahaman di antara personil Brimob Polri. Langkah ini sebenarnya yang paling mungkin dilakukan di tengah keterbatasan anggaran Polri. Akan tetapi kembali ke soal kemauan. Berbagai undang-undang ataupun peraturan sekelas Surat Keputusanpun jika tingkat sosialisasinya rendah, maka hanya akan memperburuk keadaan.

Kelima, membangun kultur polisi sipil. Pembangunan kultur ini dapat dilakukan dengan melakukan interaksi dengan kesatuan lain di lingkungan Polri, agar terjadi trasnfer pemahaman dan budaya. Hal ini juga diharapkan mampu mencairkan kebuntuan komunikasi antara personil Brimob dengan satuan lain.

Keenam, menginternalisasi nilai-nilai democratic policing, yang terintegral dalam berbagai aktivitas Brimob yang harus merujuk kepada nilai-nilai demokrasi, menjunjung tinggi HAM, menegakkan supremasi hukum, dan lain sebagainya.

Ketujuh, mengembangkan pendekatan pre emtif dan preventif, selain pendekatan penegakkan hukum dan reprrsif. Hal ini perlu dipertegas karena dalam banyak kasus, Brimob juga tidak hanya melakukan penegakkan hukum dan represif, tapi juga pencegahan dan rehabilitasi terhadap lokasi atau wilayah pasca konflik.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Reformasi Brimob Polri masih belum mampu menopang lokomotif besar Polri, karena proses internalisasi polisi sipil dan democratic policing belum tuntas. Hal ini disadari karena proses terbentuknya Brimob Polri tidak terlepas dari tujuan awalnya, yakni sebagai pasukan paramiliter di tubuh kepolisian, yang mengacu kepada pasukan polisi para militer di era Jepang dan Belanda. Artinya, butuh suatu proses yang lebih lama untuk dapat menempatkan Brimob dalam lokomotif polisi sipil yang tengah diusung oleh Polri. kondisi ini memang kurang menguntungkan bagi Polri dan Brimob secara organisasi. Hanya saja perlu suatu penekanan bahwa salah satu konsekuensi logis dari pemisahan Polri dari TNI adalah membangun paradigma baru yang sama sekali berbeda dan jauh dari watak dan kultur militeristik di Polri, dengan membenamkan kaki Polri pada kultur polisi sipil dan democratic policing. Cepat atau lambat Brimob harus mampu mengembangkan suatu paradigma berpikir, serta operasionalisasi di lapanga, yang mencerminkan suatu perwatakan dari democratic policing dan polisi sipil. sebab, apabila Brimob tetap bertahan dengan kultur lama dan enggan melakukan perubahan, maka cepat atau lambat Brimob akan menjadi bagian dari musuh masyarakat, yang menginginkan agar Polri, dan Brimob yang ada di dalamnya benar-benar mencerminkan perwatakan polisi sipil dan democratic policing, di mana kontrol aktif masyarakat dapat dilakukan. Dan tuntutan agar Brimob dibubarkan yang berkembang dimasyarakat seharusnya menjadi refleksi bagi Brimob untuk secara bersungguh-sungguh melakukan perubahan dan penyesuaian dengan agenda reformasi Polri. Karena kita masih ingin melihat dan memiliki satuan khusus di Polri yang dapat menjadi kebanggan masyarakat, dengan tetap berada di koridor democratic policing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar